Usai menjalani tes tertulis monbusho research student, saya bersiap diri, jiwa dan raga, untuk melaksanakan tes wawancara yang di jadwalkan pada pukul 13:00 tanggal 19 Juni 2014. Saya masuk ke dalam kelompok wawancara untuk bidang Ilmu Alam dan Teknik (tanggal 17-19 Juni 2014). Berarti saya kebagian di hari paling terakhir untuk kelompok itu.
Sebelum hari wawancara, saya punya waktu sekitar 2 hari untuk membaca-baca ulang copy application form dan proposal riset yang saya kirimkan tempo hari. Tidak terlalu intensif, hanya mengulang saja karena masih banyak melekat di ingatan saya. Sebenernya, saya juga punya kewajiban di kantor hari itu, saya minta izin lagi ke atasan saya, kali ini saya izin sama Pak Puji. Dan Alhamdulillah dibolehkan, bapaknya juga support saya banget untuk urusan ini. Sampe jelasin detail-detail rute buat nyampe ke Kedubes Jepang di kawasan Thamrin.
Selain itu, saya juga mulai mencari-cari di internet pertanyaan-pertanyaan yang bisa diprediksi jawabannya. Jadi, memang pertanyaan ini saya siapkan lebih dahulu jawabannya. Ya, itung-itung biar pas hari H nggak terlalu mikir-mikir banget gitu buat ngasih jawaban. Saya juga sambil latihan ngomong sendiri in English, biar lidah nggak kaku kalau besoknya dipake buat ngomong English. Saya jarang soalnya berdialog dengan bahasa Inggris, jadi hal ini penting banget buat saya. Untungnya sudah beberapa kali wawancara bahasa Inggris, jadi mudah-mudahan selama wawancara ngalir dengan lancar.
Untuk pakaian yang saya gunakan saat wawancara, juga udah saya persiapkan. Saya takut aja salah kostum. Kalau masalah pakaian, cukup yang sewajarnya saja dan sopan minimal pakai kemeja atau baju batik, celananya mungkin enaknya warna gelap (sebaiknya bukan jeans) dan tentunya pakai sepatu, saya rasa sudah pas banget itu. Satu hal lagi, pakai pakaian yang nyaman di kita. Kadang hal sepele kaya gini bisa mempengaruhi kesiapan kita untuk wawancara. *berasa jadi fashion stylist* :))))
Untuk pakaian yang saya gunakan saat wawancara, juga udah saya persiapkan. Saya takut aja salah kostum. Kalau masalah pakaian, cukup yang sewajarnya saja dan sopan minimal pakai kemeja atau baju batik, celananya mungkin enaknya warna gelap (sebaiknya bukan jeans) dan tentunya pakai sepatu, saya rasa sudah pas banget itu. Satu hal lagi, pakai pakaian yang nyaman di kita. Kadang hal sepele kaya gini bisa mempengaruhi kesiapan kita untuk wawancara. *berasa jadi fashion stylist* :))))
Pagi tanggal 19 Juni 2014, saya berangkat dari Cikarang ke Jakarta menuju Kedubes Jepang. Lokasinya di jalan M.H. Thamrin nggak jauh dari Bundaran HI, jalan kaki sedikit juga nyampe. Nah, untuk yang bukan orang Jakarta saya coba buatin rutenya. Saya di Jakartanya naik busway, kebetulan bukan rush hour jadilah di busway juga gak rame-rame amat. Kalau ke arah Jl. Thamrin, bisa naik busway jurusan Jakarta Kota - Blok M, itu udah yang paling pas banget saya rasa. Nanti turunnya di halte Bundaran HI, kebetulan kemarin haltenya lagi ditutup karena ada proyek pengerjaan MRT. Jadi alternatifnya bisa turun di halte Sarinah atau Tosari. Selebihnya jalan kaki deh ke arah Kedubes, sekitar 5-7 menit.
Sewaktu sampe di Kedubes itu jam 11, "Duh kecepetan banget". Saya ngelapor sama security saya bilang mau wawancara research student, katanya untuk yang wawancara jam 1 siang dibolehin masuk jam setengah 1.
"Boleh nunggu di depan situ, Mas", begitu kata security-nya sambil nunjukin tempat duduk dipojokan.
Yaudah deh, saya jalan-jalan aja sambil makan siang dan nyari mushalla. Disitu kawasan elit/perkantoran kayanya ya. Nggak nemu tempat makan pinggir jalan soalnya. Haha. Saya, dengan bawa uang pas-pasan, masuk ke KFC di "entah gedung apa itu namanya" lokasinya persis di seberang Kedubes Jepang. Saya makan siang disana.
Yaudah deh, saya jalan-jalan aja sambil makan siang dan nyari mushalla. Disitu kawasan elit/perkantoran kayanya ya. Nggak nemu tempat makan pinggir jalan soalnya. Haha. Saya, dengan bawa uang pas-pasan, masuk ke KFC di "entah gedung apa itu namanya" lokasinya persis di seberang Kedubes Jepang. Saya makan siang disana.
Selesai makan siang, sekitar jam 12. "Waduh... jam setengah 1 lama banget rasanya T,T". Saya main ke E(x) ya? Pokoknya kaya food court gitu disampingya Kedubes Jepang. Saya nyari mushalla aja disana sambil baca-baca lagi lembar aplikasi dan list pertanyaan+jawaban yang sudah saya persiapkan sebelumnya.
Akhirnya waktu yang dinanti tiba juga, saya ngelapor lagi sama security-nya kalau saya mau wawancara monbusho. Terus dia nge-cek nama saya dan mempersilahkan saya untuk masuk ke perpustakaan di lantai 2. Ya ampun, di dalam Kedubes-nya itu kalau mau akses 1 ruangan ke ruangan lain dibatasi pintu besi yang cuma bisa diakses sama pemegang kartu aja. Kalau dipaksa-paksa untuk dibuka juga gak akan bisa. Jadilah saya nggak bisa kemana-mana kalau tanpa pengawasan dari petugas/pegawai di Kedubes. Mungkin cuma toilet doang yang bisa saya akses sendiri tanpa pengawalan.haha. Saya belum pernah ada ditempat semacam itu, memang security system di Kedubes sangat ketat sekali. Saya jadinya berhalusinasi sedang main film sci-fi karena berhasil melewati beberapa pintu dengan pengamanan ekstra kalau udah kaya begini :D
Di perpustakaan saya ketemu sama 3 peserta lain, seharusnya total peserta di sesi jam 1 itu ada 5 orang termasuk saya, sepertinya yang 1 mengundurkan diri. Saya kurang ngerti juga alasannya kenapa. Saya sempat berkenalan sesama perserta waktu itu, Mba Pramono, Mas Sanji, dan Kak Yumi. Kak Yumi ini dosen teknik industri di Universitas Andalas, ternyata dia ini temannya salah satu dosen industri di fakultas saya S1. Dan dosen saya itu, adalah kakak dari teman saya main. Walah... sempit banget dunia. haha. Diantara kami berempat cuma saya yang rencana untuk melanjutkan S2, karena ketiganya berencana akan melanjutkan program S3 selepas jadi research student di Jepang. Diwaktu yang sama, mba dari Kedubes Jepang memberikan pengarahan dan informasi terkait wawancara serta prosedur apa yang akan dilakukan setelah lulus melalui tahap wawancara. Saya sudah catat, akan saya ceritakan dipostingan khusus, itupun kalau saya lulus tahap ini. Doakan yaa... haha.
Diakhir sesi penjelasan mengenai monbusho oleh mba dari Kedubes Jepang, kita sempat tanya jawab seputar prosedurnya lebih detail. Mba nya tetap saja sabar menjelaskan, meski waktu sudah mendekati pukul 1 siang, yang artinya waktu wawancara semakin dekat. Saya deg-deg-an (lagi).
"Sudah siap semuanya untuk wawancara? Semoga berhasil ya", begitu kata mba di Kedubes Jepang saat rasanya semua pertanyaan sudah dijawabnya.
Dalam hati saya, "Kenapa harus ada pertanyaan itu sih", jantung saya makin dag-dig-dug.
Mba-nya membawa kami melewati lorong -> pintu besi ->lorong -> pintu besi -> lorong -> pintu besi. Hah entah berapa kali lewati pintu besi.
Nah, ada 1 ketika saat sudah mendekati ruang wawancara. Kami diminta untuk menggunakan visitor card dan meninggalkan semua peralatan elektronik seperti handphone dan kamera. Dan semuanya harus dalam kondisi di-nonaktifkan. Visitor card saya nomornya cantik banget, haha buat iseng aja sih saya dapat No.13. Kak Yumi sempat bilang, "That's your lucky number, right?" haha saya ketawa aja sambil nimpalin dengan rasa bangga "Of course, but it can be 31 if you reverse its position, kak" :D
Itu buat intermezo aja, soalnya saya udah kedinginan karena grogi.
Kami semua nunggu di ruangan dengan sofa-sofa besar disana, nggak begitu luas dan di ruangan itu ada mushalla juga. Tapi saran saya jangan shalat disitu, sebaiknya shalat sebelum masuk ruangan aja. Karena akses ke tempat wudhu/toilet susah sekali, dan kebetuluan toilet juga ada di bagian lorong luar yang dipisahkan dengan pintu baja. Jadinya ngga bisa kemana-mana lagi deh.
Peserta yang datang hari itu diurutkan berdasarkan abjad, jadi urutannya adalah 1) Mba Pramono, 2) Mas Sanji, 3) Saya dan 4) Kak Yumi. Masing-masing peserta dapat alokasi waktu sekitar 30 menit untuk wawancara. Saya udah siap banget saat itu, ngga ada buka-buka berkas lagi, udah siap aja pokoknya. Here we go!!! :D
Suasana di Ruang Wawancara
Satu per-satu peserta sebelum saya masuk ke dan keluar dari ruang wawancara. Tibalah giliran saya untuk diwawancara, saya sangat siap. Sungguh! :D
Saya mengetuk pintu sambil menoleh sedikit ke dalam ruangan wawancara, setelah ada isyarat dari salah satu pewawancara untuk mempersilakan saya masuk, barulah saya masuk.
"Excuse me", lalu saya melangkah masuk. Saya dipersilakan duduk sama pewawancara yang duduk di tengah.
"Thank you, Sir", jawab saya singkat dengan ramah.
Di dalam ruang wawancara, ada 5 orang pewawancara. Ada 2 orang Indonesia dan 3 orang Jepang, dan kesemuanya bapak-bapak. Bapak-bapak yang orang Indonesia ini keduanya adalah guru besar di bidang beliau masing-masing, saya hanya tau 1 orang saja yang guru besar ITB di bidang Remote sensing. Ini pun saya taunya dari Mas Sanji, sesama peserta wawancara. Bapak yang satunya lagi, saya rasa yang paling ramah diantara yang lain, meski yang lain juga ramah, cuma saya ngerasa bapaknya lebih antusias dengerin saya pas saat saya cerita. Makanya saya inget banget sama bapaknya, sayangnya saya lupa berkenalan nama T,T
Pertanyaan pertama, dari bapak yang ramah itu adalah minta saya memperkenalkan diri. Sudah saya tebak sih, pasti nanyain hal-hal kaya gini. Yaudah, saya cerita aja tentang saya, kampus saya selama S1 dan kegiatan saya saat ini setelah selesai kuliah. Oke, saya coba bikin list pertanyaan dan jawaban yang saya kemukakan waktu itu yaa.
***
1. Perkenalan tentang diri kita sebagai applicant. Standarlah ya, semua orang pasti bisa jawab asal gak lagi amnesia. hehe.
2. Coba ceritakan tentang rencana risetmu nanti selama di Jepang?
Saya ceritakan persis dengan yang ada di proposal riset saya, meski ngga semuanya juga, hanya bagian pentingnya saja. Nanti kalau pewawancaranya tertarik, pasti akan nanya lagi lebih detail. Saya menyadari juga kalau dari pewawancara nggak ada yang background ilmu komputer, jadilah saya cerita sesimple mungkin. Tapi dilain itu, saya juga udah siapkan kalau-kalau ditanyain hal yang detail. Soalnya penting banget mempersiapkan apapun kemungkinan yang terjadi.
3. Apakah sudah pernah kontak calon pembimbing?
Aaaakkkk!!! Saya seneng banget ditanyain ini, saya bilang "Yes Sir, I have". Beberapa hari sebelum wawancara, saya sempat email lagi Prof. AF mengenai status saya yang sedang dalam masa seleksi monbusho. Saya ceritakan soal ini, Alhamdulillah dibalas. Beliau senang untuk menerima saya di lab nya, dengan catatan tentu saya harus berhasil di seleksi monbusho ini. Artinya, saya setidaknya sudah ada yang mau 'nampung' kalau saya kuliah di Jepang. Bagi saya, ini penting untuk menunjukkan keseriusan kita ingin belajar di Jepang.
4. Kenapa memilih Jepang, padahal bidang kamu (computer science) banyak lho yang bagus di Amerika.
Nah loh? Pertanyaan ini saya jawab aja kalau di USA perbedaan culture-nya terlalu ekstrim, *saya sempat bingung sih*, terus kalau di Jepang saya tidak hanya belajar tentang ilmu/riset yang saya minati tetapi saya bisa bergaul di lingkungan internasional yang penuh dengan budaya ketimuran. Terutama budaya Jepangnya sendiri. Jepang dan Indonesia sama-sama di timur, jadi saya rasa perbedaan yang tidak terlalu mencolok akan memudahkan saya untuk beradaptasi selama di Jepang. Saya nggak tau juga substansi dari jawaban saya apa, terlalu general kayanya ya.
5. Di application form kamu menulis pernah internship di Chevron, berarti sudah tau dong lingkungan kerjanya dan betapa 'nyaman'-nya kalau bisa kerja disana. Kenapa tidak melanjutkan saja karir kamu dengan bekerja disana?
Pertanyaan ini bener-bener nggak pernah saya duga sama sekali. Seketika saya terkena panic attack karena nggak persiapankan jawabannya. Bismillah saja. Terus saya mulai dengan bilang "It's interesting, Sir", sambil senyum ke bapaknya, dan bapaknya ikutan senyum dengan tatapan sangat menunggu respon saya. Jadilah saya jawab, orang Riau, bahkan termasuk Ibu/Bapak saya juga punya mimpi anaknya untuk masuk Chevron. Saya saat ini berbeda pak, saya bilang kalau passion saya di dunia riset. Saya sudah cari sekian lama, dan saya nemukan ini saat mengerjakan skripsi. Saya suka mengeksplor hal-hal baru dan saya cinta akan ilmu pengetahuan, jadi saya ingin berkontribusi disana. Saya mau jadi peneliti/pengajar pak, di Riau, kita semua mungkin tau, kalau pendidikannya sangat berbeda jauh dengan universitas-universitas di Jawa. Paling tidak ini yang bisa saya berikan untuk kampung saya. *kira-kira beginilah jawabannya, saya agak gemetar waktu cerita ini* :)
Waktu yang pertanyaan no.5 ditanyakan, bapak-bapaknya berdua orang Indonesia sambil bercanda. "Eh, itukan pertanyaan saya, sudah diambil duluan. Gimana dong?" haha... sejak itulah suasana wawancara jadi lebih santai, saya juga tambah rileks untuk menjawab pertanyaan berikutnya.
Oke, kita lanjut ke pertanyaan lain...
6. Di application form, kamu menulis lulus kuliah dalam waktu 4 tahun dan 11 bulan. Ini hampir 5 tahun? Apa yang terjadi?
Lagi-lagi pertanyaan yang membunuh mental saya. Saya senyum saja, sekali lagi Bismillah... saya jawabnya kira-kira begini "That's my bad, Sir. I couldn't manage my time as well as the others. I worked when I was a student as a graphic designer. I studied at university in the morning and worked in the night until 9 PM". Saya tau ini bisa jadi blunder untuk saya, karena tidak bisa me-manage waktu dengan baik. Apa mungkin saya dipercaya untuk direkomendasikan sebagai penerima beasiswa? Ahh saya waktu itu kepikiran saya mau jawab jujur apa adanya saja. Sewaktu kuliah saya sejak semester satu kerja part-time hampir 3 tahun. Di tingkat awal saya kerja di radio, dan selepas itu saya kerja di kedai souvenir ngerjain desain gambar. Kuliah saya sempat keteteran, tapi itu satu-satunya cara untuk mengurangi beban orangtua saya. Cukuplah orang tua saya bayarin uang kuliahnya, untuk sehari-hari saya tetap cari sendiri. *malah curhat* -___-
7. Saya baru pertama kali dengar nama kampus kamu selama seleksi beasiswa monbusho, yang kami tau cuma Universitas Riau, coba tolong kamu ceritakan ke kami. Anggap saja kamu ini duta dari kampusmu.
Ini seriusan nggak sih? Saya antara mau ketawa atau sedih sebenernya, sebegitu tidak terkenalkah kampus saya? T,T Seakan-akan cuma saya alumni UIN Sultan Syarif Kasim Riau yang pernah duduk hadap-hadapan sama pewawancara di monbusho ini. Pedih, perih, dan menghujam jantung. Jleb! Jleb! Jleb! Yaudah deh, dengan semangat membara saya ceritakan apa kelebihan UIN dan seperti apa UIN Suska Riau itu.
Pertanyaan yang saya nggak bisa jawab ialah, "Kapan kampusmu ini berdiri?", eerr... "I'm not sure, Sir". Duh, gagal jadi duta yang baik.
8. Apa kontribusi yang bisa kamu berikan untuk Jepang dan Indonesia melalui studimu ini nantinya?
Ahem, saya jawabnya kontribusi yang berkaitan dengan riset saja seperti apa sisi baik riset saya untuk kedua negara ini. Itu saja.
Selanjutnya memasuki pertanyaan yang lebih santai. Pertanyaan ini yang terakhir ditanyakan, ditanyakan sama pewawancara orang Jepang yang paling muda. Saya agak budek dengerin speaking-nya, sungguh English-nya bapak-bapak yang Jepang sangat sulit saya cerna. Mungkin emang listening saya nggak bagus, jadi saya nggak yakin juga isi pertanyaannya. Sepertinya tentang 1) budaya Jepang dan Indonesia atau 2) tentang beradaptasi di Jepang.
Saya gambling saja waktu itu, saya pilih jawaban untuk yang beradaptasi. Saya bilang, faktor yang paling sulit untuk beradaptasi di Jepang adalah soal makanan dan bahasa. Kalau untuk bahasa saya tidak terlalu khawatir karena saya bisa bergabung di kelas persiapan bahasa Jepang. Untuk makanan, saya bisa masak sendiri pak. Saya jago masak kok. Terus tiba-tiba bapak-nya yang nanya bingung, saya juga bingung, kayanya saya salah jawab deh. haha. Saya nungguin respon bapak-nya ngapain, eh ternyata beliau menyudahi sesi. Alhamdulillah... :D Jadilah saya timpalin aja dengan cerita kalau saya pernah belajar bahasa Jepang sewaktu kuliah, 6 bulan dapat kursus dari lembaga pendidikan bahasa Jepang di Universitas Riau. Lumayan untuk bahan obrolan sama bapaknya.
Waktu saya bilang saya bisa masak, bapak yang ramah itu nanya dengan antusias "Seriously, are you a good cook?!", lalu saya becandain "Of course, Sir. After this, perhaps I can be the next Indonesian Master Chef". Terus semuanya ketawa, saya seneng banget ada hal kecil yang setidaknya buat mereka ingat saya.
Diakhir sesi bapaknya bilang, "Terima kasih sudah datang ya jauh-jauh dari Riau. Nanti tolong panggilkan peserta yang terakhir".
"Baik, pak", kata saya. "Saya boleh menyampaikan sesuatu?" setelah dipersilakan, saya lanjutkan dengan mengucapkan terima kasih atas kesempatan yang diberi untuk saya dan sekalian bilang saya senang bisa bertemu bapak-bapak semua. Saya pamit dengan salam versi Jepang yaitu membungkukkan badan sebelum keluar ruangan, cuma saya nggak pede antara mau bilang "hontouni arigato gozaimasu" atau "yoroshiku onegaishimasu". Jadi saya nggak ngomong apa-apa lagi sehabis bungkukan badan itu.
Saya menyudahi sesi wawancara itu dengan penuh syukur dan harapan. Saya tahu peluang setiap orang yang sudah datang di sesi wawancara adalah sama, dan setiap orang masih punya harapan untuk melanjutkan pendidikan melalui kesempatan ini. Hal ini karena faktor penentunya adalah berdasarkan kalkulasi dari ketiga seleksi yang sudah dijalani, yaitu dari nilai seleksi berkas, tes tertulis dan wawancara untuk bisa lulus primary screening di monbusho. Selanjutnya saya tinggal banyak berdoa dan berserah diri saja sama Allah mengenai hasil yang akan saya terima di tanggal 11 Juli 2014 nanti.
テグー さん がんばってください!
***
Kumpulan tulisan saya tentang pengalaman serta tips dan trik mendapatkan beasiswa Monbukagakusho Research Student 2015: