Saturday, July 15, 2017

Beberapa Alasan Saat Menentukan Kampus Tujuan di Jepang

Menentukan kampus tujuan untuk studi di Jepang (mungkin) bisa dibilang merupakan hal yang sederhana. Tapi hal ini justru bisa jadi faktor pendukung yang bermanfaat untuk keberlangsungan proses belajar di Jepang. Hal ini bisa dijabarkan dalam berbagai macam faktor dan itu tergantung dari kondisi dan preferensi mahasiswa yang bersangkutan. Bagi saya sendiri, ada beberapa alasan yang menjadi pertimbangan saya saat menentukan kampus tujuan studi di Jepang. Kali ini saya akan cerita beberapa alasan tersebut hasil dari pengamatan saya dan dari diskusi dengan beberapa teman yang studi disini.

An iconic building of The University of Tokyo

1. Reputasi kampus
Siapa yang nggak kepengen untuk studi di salah satu kampus terbaik di Asia? Beberapa universitas di Jepang memang sudah jadi langganan untuk masuk ke dalam jajaran universitas yang punya reputasi membanggakan di Asia dan di dunia. Sebut saja University of Tokyo, Kyoto University, Tohoku University, atau Nagoya University yang hampir selalu berada di puncak daftar kampus favorit. Kampus-kampus ini juga menjadi tempat lahirnya para penerima Nobel Prize dari Jepang. Jadi wajar saja kalau ada kebanggaan tersendiri bisa merasakan suasana belajar yang sama dengan para penerima Nobel terdahulu. Nah di Jepang sendiri, reputasi kampus ini katanya juga cukup mempengaruhi proses pencarian kerja di perusahaan-perusahaan ternama; jadi paradigma kalau lulusan dari universitas terbaik biasanya punya potensi dan kemampuan yang baik di dunia kerja itu masih ada. Oleh karena itu, perusahaan-perusahaan ini akan lebih memberikan prioritas kepada para lulusan tersebut. Begitu sih katanya. Nanti saya coba ceritakan lebih detail tentang poin ini kalau ada kesempatan ketemu narasumber yang bisa dipercaya untuk saya tulis di blog ini. **kebanyakan janji nulis, padahal mah sibuk haha**

2. Professor dan Laboratorium
Poin ini bisa dibilang merupakan alasan yang paling dominan untuk mempengaruhi proses penentuan kampus tujuan studi. Sangat sering ditemukan bahwa beberapa kampus punya laboratorium riset unggulan di bidangnya dan reputasi professornya sangat diacungi jempol di bidang tersebut. Selain itu, ada kalanya laboratorium riset yang ada di Universitas-A sangat sesuai dengan topik penelitian kita, tetapi laboratorium yang serupa tidak ada di Universitas-B. Bagi saya pribadi, saya sangat setuju bahwa kesesuaian topik penelitian dengan laboratorium dan bidang keahlihan professor ini jauh lebih penting daripada sekedar menentukan dengan dasar reputasi kampus saja. Tentu saja jelas akan lebih baik lagi kalau bisa memenuhi kedua faktor tersebut. **haha ini gimana sih**

Kalau kita melihat lebih jauh lagi, penting juga ternyata untuk bisa mendapatkan informasi tentang seluk beluk calon professor kita baik reputasi akademisnya maupun personality-nya. Ini gunanya apa? Secara akademis sudah tentu agar ilmu yang kita dapatkan datang dari pembimbing yang sangat berpengalaman (tapi saya akui professor-professor disini keren semua). Namun, dengan mengetahui personality professor tersebut (biasanya hasil dari rekomendasi seseorang) bisa jadi faktor pendukung yang bikin kita nyaman berada di lab. Pasti nggak mau kan kalau udah jauh-jauh nyampe di Jepang tapi cuma jadi mahasiswa budak penghasil tulisan ilmiah saja? Tentu kita mengharapkan relasi yang lebih baik dari ini yaitu untuk bisa menambah networking guna di masa yang akan datang. Dan menurut saya, hal ini salah satunya bisa dibangun dengan menentukan langkah awal yang benar yaitu bertemu dengan professor yang super baik. Dengan catatan tentu saja kita juga memberikan performa yang terbaik selama belajar dari beliau.  

3. Biaya Hidup
Setelah dua alasan yang sangat terkait di atas, saya akan menceritakan alasan yang cukup menjadi pertimbangan banyak orang, terutama bagi yang akan membawa keluarga ke Jepang. Seperti yang kita ketahui, biaya hidup di Jepang sangatlah tinggi, dan akan berasa lebih tinggi lagi jika menghabiskan hari-hari di kota-kota besar seperti Tokyo, Osaka, dan Nagoya. Untuk hidup di kota-kota tersebut biasanya seseorang mahasiswa akan menghabiskan sangat banyak pengeluaran tiap bulannya. Bandingkan saja, harga sewa apato di Tokyo dengan di Tsukuba selama sebulan sekitar 2:1 untuk ukuran apato single (1 kamar, 1 kamar mandi dan 1 mini kitchen). Nah, untuk apato family pasti lebih mahal lagi. Kebayang kan mumetnya ngatur keuangan kalau bawa keluarga dengan hanya mengandalkan uang beasiswa yang semestinya hanya digunakan untuk memenuhi kebutuhan 1 orang? Harga sewa apato ini memang punya perbedaan yang sangat signifikan antara satu wilayah dengan wilayah lainnya, sementara untuk kebutuhan belanja harian, transportasi, dan rekreasi bisa dikatakan cukup berimbang. Ya asal jangan sering-sering banget juga jalan-jalannya. Soalnya kalau sudah gaya hidup yang berbicara, berapapun uangnya pasti nggak cukup ya. Inilah kenapa, beberapa orang lebih memilih untuk bersekolah di kampus-kampus yang berlokasi agak di pinggiran kota (red: pedesaan) untuk bisa menekan biaya hidup dan bisa hidup "normal" tanpa harus terlalu sering migrain karena mikirin tagihan bulanan. **Oh, my adult life** 

4. Preferensi Kota
Poin berikut ini masih punya korelasinya yang cukup erat dengan poin sebelumnya. Namun hal ini bentuknya lebih ke preferensi pribadi saja. Bagi saya, saya lebih menyukai kota yang tidak terlalu ramai dengan hiruk pikuk, tetapi kalau bisa tidak terlalu jauh dari pusat kota. Mungkin itu juga yang menjadi salah satu pertimbangan saya memilih studi di Tsukuba yang secara lokasi tidak begitu jauh dari Tokyo dan mempunyai lingkungan yang cukup tenang. Di Tsukuba dan di kebanyakan pedesaan kota-kota lain yang serupa, lokasi di sekitarnya bisa ditempuh dengan bersepeda. Sementara untuk kota besar seperti Tokyo, perjalanan ke kampus sepertinya cukup menantang karena mesti ngerasain rush hour di Tokyo yang kondisi stasiun dan gerbong keretanya 11:12 dengan kondisi KRL Jabodetabek kalo jam berangkat ngantor. Padat. Banget.
Bagi orang lain, mungkin lebih prefer untuk kuliah di kota besar dengan segala macam hal-hal modern di kota tersebut. Lebih keren jadi bagian dari warga metropolitan katanya. Ketersediaan sarana dan prasarana serta banyaknya pilihan tempat yang bisa dikunjungi mungkin menjadi salah satu faktor penyebab yang membuat seseorang ingin tinggal dan belajar di kota tersebut. Jadi kalau menurut temen-temen kota yang bagaimana yang lebih baik untuk belajar selama di Jepang?

5. Beasiswa
Bagi mahasiswa seperti saya yang kayanya kalo tanpa beasiswa mungkin nggak bakal bisa mencicipi rasanya kuliah di luar negeri, beasiswa yang ditawarkan bisa mempengaruhi pilihan tempat untuk melanjutkan studi. Sebagai contoh, beberapa kampus disini menawarkan beasiswa dari pendonor lokal yang hanya bisa diterima jika calon mahasiswa mendaftar ke salah satu program studi di kampus tersebut. Jadi bisa dikatakan kalau penentuan kampus sudah menjadi bagian dari program beasiswa tersebut. 
***
Begitulah uraian singkat saya tentang alasan yang mempengaruhi pemilihan kampus tujian untuk melanjutkan studi di Jepang. Saya sendiri melihat pengalaman yang lalu, keputusan memilih kampus secara dominan dipengaruhi oleh poin (2) dan (4). Namun, saat penentuan akhir setelah saya menerima tiga letter of acceptance dari tiga professor di kampus berbeda, saya pada akhirnya mempertimbangkan reputasi kampus dari ketiga kampus tersebut sehingga saya memutuskan pilihan untuk belajar di University of Tsukuba. 

Semoga tulisan ini bermanfaat dan bisa cukup membantu teman-teman untuk mendapatkan gambaran dalam menentukan kampus pilihan di Jepang. Salam dari Tsukuba. Cheers!

Friday, July 14, 2017

Catatan Kuliah Master di Jepang - Tahun Pertama

Babak baru dalam hidup saya di Jepang dimulai ketika saya baru saja kembali ke Jepang sekembalinya saya dari Indonesia untuk menghabiskan waktu liburan musim semi. Tanggal 4 April 2016, saya resmi diterima sebagai mahasiswa master tahun pertama di University of Tsukuba. Hari itu merupakan hari penyambutan mahasiswa baru yang diadakan oleh universitas. Satu hal yang paling berkesan selama acara penyambutan mahasiswa di kampus saya adalah Kelompok Musik Orkestra-nya kampus. Dan, bagi semua siswa/mahasiswa baru di Jepang, awal dimulainya pembelajaran ditemani dengan mekarnya bunga sakura yang menghiasi sepanjang jalan dan taman-taman di Jepang.

Kuliah tingkat master di Jepang mewajibakan seorang mahasiswa untuk menjadi bagian dari salah satu laboratorium di tempatnya kuliah. Begitu juga saya, saya tergabung di laboratorium NLP, Grad. School of Systems and Information Engineering. Jadi dari awal sekali, saya akan bekerja dan belajar di lab ini (red: ngelab). Mungkin sedikit berbeda dengan kuliah master di Indonesia dimana mahasiswa tingkat master baru mulai bersentuhan dengan aktivitas lab pada tahun terakhir kuliah. Di tahun pertama ini saya bisa menuntaskan semua credit dan mata kuliah saya, bahkan di tengah tahun pertama saya sudah menuntaskan 70% dari semua kelas yang saya ambil. **standing ovation**

Kampus University of Tsukuba saat musim panas

Perkuliahan
Minggu pertama menyandang status sebagai mahasiswa Master disibukkan dengan pengambilan credit kuliah dengan mempertimbangkan course apa saja yang akan diambil selama satu tahun pertama. Saya berdiskusi dengan sensei (red: professor) saya untuk hal ini karena beliau sepertinya sudah punya rencana sendiri untuk mahasiswa bimbingannya tentang mata kuliah apa yang cukup related dengan lab, tugas-tugasnya relatif mudah, atau pilihan mata kuliah yang nggak ada ujiannya sama sekali (red: ini jadi favorite saya). Saya cukup terbantu dengan rekomendasi mata kuliah pilihan sensei saya, jadi sayang nggak perlu repot-repot milih yang sesuai dengan bidang saya. Meski akhirnya saya mumet juga karena masalah lain.

Sebenarnya, hal yang cukup membuat saya mumet adalah ketidak-tersediaannya mata kuliah berbahasa inggris yang bisa memenuhi credit kelulusan saya. Bingung kan? Iya bingung banget ini. Saya akhirnya nanya-nanya ke temen di jurusan lain yang masih ada kaitannya dengan ilmu komputer. Saya pada akhirnya ambil 2 mata kuliah dari jurusan lain yang ada di graduate school yang sama dengan jurusan saya. Yokatta. Di Jepang (atau di negara-negara lainnya) diperbolehkan untuk mengambil mata kuliah dari jurusan lain, saya kurang tau kalau di Indonesia gimana. Mungkin ada yang bisa menceritakan pengalamannya?

Dari yang saya amati, perkuliahan di Jepang itu pada dasarnya disajikan dalam bentuk; pertama seminar, dan kedua general course yang senseinya menjelaskan dan kita mahasiswanya tidur memperhatikan dengan seksama. Bentuk pertama ini juga terbagi dalam bentuk lainnya, ada yang dengan mengundang pemateri dari para peneliti di perusahaan-perusahaan, lab riset terkemuka, dan ada yang materinya disajikan oleh mahasiswa di jurusan. Nanti saya akan tulis lebih rinci berdasarkan  mata kuliah yang saya ambil. Sementara bentuk general course, senseinya biasanya mengajar dengan ilmu-ilmu dan topik terkini, tidak yang bergantung dengan buku banget, saya sangat mengagumi cara sensei di Jepang yang mengajarkan dengan topik kuliah yang merupakan hasil penelitiannya sendiri.

Nah, saya baru menjelaskan gambaran umum dari bentuk perkuliahan yang ada di Jepang. Bagaimana dengan suasana perkuliahannya? Kuliah di Jepang ini cocok banget sama tipe mahasiswa yang males ngomong di kelas, karena banyak banget mata kuliah yang terkesan pasif dimana mahasiswa hanya mendengarkan senseinya ngoceh sepanjang 1-2 jam pelajaran. Saya suka? umm... Saya lebih prefer kalau kelasnya semi-aktif, 50% sesi dimana senseinya bercerita dan ada sesi dimana mahasiswa bisa saling berdiskusi. Saya mungkin lebih suka dengan suasana kelas yang seperti itu, lebih berasa "kuliahnya" ketimbang duduk manis doang di dalam kelas. Di dalam kelasnya jadi nggak jarang mahasiswa yang membuka laptop dan sibuk dengan kerjaannya sendiri, bisa jadi risetnya lagi padat-padatnya atau emang kelasnya bikin bosen? Well, i am not sure. Saya nggak tau ada pengaruhnya atau tidak dengan kondisi ini, nggak jarang juga mahasiswa ketiduran di kelas dan senseinya nggak pernah bakalan ada yang ngasih peringatan atau membangunkan. Saya sih masih beranggapan kalau ini merupakan bentuk tidak menghargai ke guru, tapi mungkin orang Jepang melihat dalam sudut pandang yang berbeda; ketiduran di kelas itu pertanda bahwa hari sebelumnya orang ini sudah berusaha keras, entah belum pulang ke apato atau belum tidur sama sekali. Beginilah perbedaan budaya ya, ada nilai-nilai yang tidak kita ketahui ternyata, bukan tentang budaya siapa yang lebih baik/buruk.

Penelitian
Perkuliahan di dalam kelas ini bisa dibilang hanya bentuk basic knowledge share saja dari sensei ke mahasiswanya. Tugas-tugas kuliahnya juga relatif lebih mudah, tapi bukan berarti saya bisa tidur lebih awal karena tugas-tugasnya mudah lho... Bahkan nggak ada ujian akhir sama sekali. Kebanyakan penilaian cuma berdasarkan kehadiran dan weekly report saja. Makin minat nggak nih kuliah di Jepang?

Tunggu dulu...

Kuliah master di Jepang itu nggak hanya ambil credit, hadir di kelas-kelas, ngumpul tugas dan lulus.  Di Jepang setiap mahasiswa akan mulai ngelab dari awal pertama kali diterima secara resmi di kampus. Saya bisa katakan bahwa beban perkuliahan di kelas-kelas itu tidak ada apa-apanya dibandingkan dengan penelitian di lab. Setiap minggu saya diharuskan memberikan laporan penelitian kepada sensei untuk menunjukkan progress yang saya buat. Jadi benar-benar harus bikin progress penelitian sebaik-baiknya, karena akan terasa sekali kalau tidak bisa menyampaikan apa-apa pada saat progress meeting. Saya beruntung karena saya sudah satu tahun sebagai research student dan tinggal melanjutkan riset yang akan saya kerjakan selama master. Di jurusan saya, kelas seminar memberikan kesempatan untuk semua mahasiswa secara bergantian mempresentasikan penelitiannya kepada mahasiswa lain, dan ini sepertinya satu-satunya kelas dimana ada interaksi tanya-jawab langsung antar mahasiswa. Dan, jika sudah mencapai tahapan tertentu, sensei juga akan meminta mahasiswanya untuk menuliskan hasil penelitian tersebut dalam bentuk tulisan ilmiah yang sudah siap untuk disubmit ke conference, workshop atau journal. Hingga tahun pertama saya hanya baru satu kali submit paper ke sebuah conference di Jepang, moga-moga bisa lebih banyak lagi kesempatan untuk submit dan mempresentasikan hasil penelitian saya di pertemuan ilmiah lainnya.

Saturday, April 30, 2016

Research Student di Jepang - Part 2

Berikut ini adalah kelanjutan dari tulisan Research Student Part-1 sebelumnya mengenai pengalaman menjadi research student di University of Tsukuba, Jepang.

September 2015
Ini merupakan bulan terakhir liburan musim panas di Jepang. Jadi saya bersama seluruh lab member mengisi waktu libur dengan mengadakan study trip ke wilayah Yamanashi. Sangat menarik bisa menikmati suasana liburan di dekat kawasan Gn. Fuji, mengunjungi berbagai lokasi wisata di Jepang, dan menginap di penginapan bergaya Jepang selama 3 hari.
Pada bulan ini juga pengumuman hasil ujian masuk universitas yang dilaksanakan pada bulan lalu dipublish, dan Alhamdulillah saya lolos sebagai mahasiswa di Graduate School of Systems and Information Engineering untuk periode Spring 2016.

Oktober 2015
Awal semester autumn dimulai pada bulan ini, saya masih meneruskan kelas bahasa Jepang di pusat bahasa di universitas untuk semester ini. Saya juga mengambil 1 mata kuliah professor saya, Natural Language Processing. Kelas ini tidak masuk ke kredit saya sebagai mahasiswa riset, karena bukan keharusan. Saya ambil kelas ini, ikut mengerjakan tugasnya hanya untuk merasakan atmosfer perkuliahan di Jepang. Tentu saja untuk belajar banyak tentang NLP dari professor pembimbing saya sendiri.
Selain itu, saya sudah mulai mengerjakan riset saya. Melakukan simulai, melakukan perbaikan pada framework yang saya bangun. Saya merasa riset saya sudah mulai menemui kejelasan, dan saya terus mencari tahu hal baru yang bisa saya temukan agar bisa menghasilkan sebuah penelitian yang baik. Saya hampir setiap hari ke lab untuk melakukan rutinitas seperti ini.

November - Desember 2015, Januari - Februari 2016
Rutinitas saya sebagai mahasiswa riset tentu saja lebih banyak saya lakukan di lab. Jadi, kehidupan mahasiswa di Jepang ya kurang lebih tidak jauh-jauh dari meja kerjanya di lab. Sejauh ini saya sangat menikmati, meskipun terkadang sesekali saya mengeluh saat ada kendala dengan riset saya. Tapi selama masih dalam porsi yang wajar, itu tidak apa-apa. Saya biasanya rehat sebentar, atau mengerjakan hal lain untuk bisa meluangkan waktu sedikit agar pikiran kembali fresh. Meski demikian, Alhamdulillah penelitian yang saya kerjakan dengan bimbangan sensei saya cukup mengalami perkembangan yang signifikan.

Baiklah, semoga cerita singkat saya ini bisa menjadi sebuah kebermanfaatan untuk teman-teman. April 2016 ini akan jadi babak baru bagi saya untuk memulai kehidupan sebagai mahasiswa master. Meski teman-teman saya banyak yang menyangka bahwa 1 tahun lamanya di Jepang saya sudah memulai S2 saya. Dengan kata lain, saya akan menyelesaikan 2 tahun lagi dari total 3 tahun studi saya di Jepang. Gambarimasu!

Jika rasanya ada yang ditanyakan lebih lanjut dan saya kebetulan tidak menuliskannya disini. Silakan untuk meninggalkan komentar di bawah ini. Terima kasih!

Salam dari Tsukuba!

Tuesday, August 25, 2015

Pengalaman Berpuasa dan Berlebaran di Jepang

Tahun 2015 adalah kali pertama dalam hidup saya tidak merayakan lebaran Idul Fitri bersama keluarga di Pekanbaru, dan kali pertama lebaran saya di luar negeri. Untuk puasa, saya sudah beberapa kali tidak di rumah, jadi puasa kali ini sudah semakin terbiasa berpuasa tidak bersama keluarga.

Puasa di Tsukuba tahun 2015 ini bertepatan dengan musim panas. Kebayang kan gimana panasnya Jepang kalau musim panas yang bisa mendekati 40 derajat celcius. Ditambah lagi, waktu siang saat musim panas lebih panjang ketimbang waktu malam. Syukurnya, saat mendekati akhir bulan puasa cuaca di Tsukuba memasuki musim penghujan. Hampir setiap hari hujan deras. Bahkan ada 1 minggu yang hujannya tidak berhenti sama sekali. Rata-rata waktu berpuasa di Jepang saat musim panas adalah sekitar 17-18 jam. Jam 2:30 JST pagi sudah memasuki waktu subuh, dan berbuka puasa sekitar pukul 19:00 JST. Ternyata cukup lama ya. Sungguh menjadi tantangan bagi saudara muslim di Jepang dalam menjalankan ibadah puasa di bulan Ramadhan. Namun, setelah dijalani semua Alhamdulillah baik-baik saja. Saya sehat dan tidak merasa capek atau lapar yang berlebihan saat menjalankan puasa di Tsukuba.

Setiap hari saya bangun pukul 1:30 untuk memasak makanan sahur. Masakan-masakan sederhana saja, yang penting ada protein, karbohidrat dan serat udah cukup bagi saya. Saya biasanya makan bersama teman satu asrama sesama muslim, Mas Fajar dan Roney. Roney juga mahasiswa Tsukuba asal Bangladesh, dia mengambil program doktor bidang Fisika disini. Sehabis makan sahur, kita langsung melaksanakan shalat subuh berjamaah di kamar dorm yang bisa dibilang sangat kecil untuk kita bertiga. Sempit-sempit sedikit nggak masalah lah ya. hehe. Pernah beberapa kali, saya diundang sahur di rumah tetangga dorm yang sudah berkeluarga untuk makan sahur bersama. Saya sih suka-suka aja, karena nggak perlu masak. haha.

Saat berbuka puasa, saya lebih sering berada di lab, lebih-lebih lagi kalau hari itu adalah hari efektif kuliah. Makanan berbuka saya biasanya saya beli di salah satu kantin halal di kampus. Menu pilihannya tidak banyak, hanya sup, nasi, roti, dan kare. Mungkin makanan sahur yang enak dan sesuai selera bisa saya masak saat weekend karena saya nggak ke lab dan punya waktu banyak untuk memasak.

Nah, yang seru saat weekend adalah berbuka puasa bersama di Masjid Tsukuba. Setiap minggunya masing-masing komunitas dari berbagai negara bergantian menyediakan makanan berbuka puasa. Pakistan, Indonesia, Malaysia, Arab, Bangladesh. Jadi saya saat hari minggu selalu ikutan acara ini, itung-itung silaturahmi dengan saudara sesama muslim. Masakan-masakan dari berbagai negara sangat unik dan enak-enak. hehe. Komunitas muslim Indonesia kebagian giliran untuk menyediakan makanan berbuka puasa di minggu kedua puasa. Wah, saya jadi ikutan bantu-bantuin temen-temen pengurus kegiatan ini memasak. Saya gabung dengan tim ibu-ibu yang masak gulai daging dan bungkusin makanan ke dalam kotak makan. Seru!
Tim bungkus-bungkus makanan berbuka puasa

Di Jepang, hari lebaran jatuh pada hari Jumat, 17 Juli 2015. Sama dengan waktu lebaran di Indonesia. Shalat Ied di Tsukuba dilaksanakan di Masjid Tsukuba. Banyak sekali teman-teman muslim yang datang ke Masjid Tsukuba hari itu. Semua berbahagia, meski ada rasa haru karena tidak berkumpul dengan keluarga di negara masing-masing. Ada pilihan lokasi lain yang biasanya temen-temen muslim Indonesia pilih, yaitu shalat ied di KBRI Indonesia/ Sekolah Republik Indonesia Tokyo (SRIT). Sehabis shalat ied berjamaah, saya dan teman-teman Indonesia (PPI Ibaraki) melaksanakan halal bihalal di community center di dekat asrama kampus. Ibu-ibu banyak mempersiapkan makanan khas Indonesia. Ya ampun... saya ngerasa seperti berada di rumah sendiri saja. Ada lontong opor, nasi uduk, kue-kue, pempek, siomay, dan macem-macem. Alhamdulillah. Meski jauh dari keluarga, saya ngerasa dekat banget dengan rumah. Kangen saya dengan masakan Ibu bisa terobati dengan mencicipi makanan-makanan ini.

Makanan pengobat rindu :) 

Begitulah pengalaman saya saat berpuasa dan berlebaran di Jepang. Saya merasakan bagaimana rasanya tidak berkumpul bersama keluarga untuk pertama kalinya saat itu. Saya memang merasakan ada yang kurang, tapi semuanya kembali pada kita apakah kita bisa berbahagia dengan apa yang ada saat ini pada diri kita. Insha Allah tahun depan saya dan teman-teman yang saat ini sedang menuntut ilmu jauh dari keluarga bisa merasakan kembali hangatnya berpuasa dan berlebaran bersama keluarga di Indonesia :)

Foto bersama halal bihalal keluarga PPI Ibaraki

Saturday, August 22, 2015

Pengalaman Pertama ke Tokyo

**Tulisan cerita pengalaman saya pertama kali mengunjungi Tokyo saat Golden Week Mei 2015

Setelah satu bulan saya di Jepang (dan setelah Negara Api yang menyerang), saya berkesempatan untuk mengunjungi tempat-tempat seru, asik, menyenangkan dan banyak turisnya di Jepang saat liburan Golden Week. Tempat dimana duit tabungan saya yang tadinya buat niatan lain, bisa-bisa ludes kalo dipake jalan-jalan. Tempat dimana salah satu kota tersibuk dengan biaya hidup tertinggi di dunia. Yes! Tokyo! Mendengar kata Tokyo sudah pasti kepikiran dengan tempat semacam Tokyo Tower, Shibuya, Hachiko Statue, Akihabara, Asakusa, Odaiba, Harajuku dan macem-macem. Keliatan kan saya aja sampe bingung bikin list nama tempatnya. Apalagi kira-kira yang kebayang kalo denger kata Tokyo nih?

Tempat pertama yang saya kunjungi di Tokyo adalah Asakusa. Saya berangkat bersama dua teman; Mas Fajar dan Mba Eka. Dari Tsukuba Station, saya cukup sekali naik Tsukuba Express (kereta listriknya Tsukuba) dengan biaya sekitar 1300 Yen. Keretanya adem, dan lumayan cepet. Kereta ini menghubungkan Tsukuba Station dan Akihabara Sta. yang kalau sekali jalan menghabiskan waktu 40-50 menit. Yah, ternyata Tsukuba itu deket banget ya dari Tokyo.
Saya turun di Asakusa dan hari itu rame banget. Iya rame pake banget. Ya namanya juga liburan ya, pastilah rame. Saya jalan kaki aja ngiterin Asakusa. Saya ke Senso-ji Temple liat-liatin ini itu, dan banyak orang ibadah disana. Yaelah, namanya juga temple pastilah banyak yang ibadah. Senso-ji ini salah satu kuil paling terkenal di Jepang. Oh ya, saya sempet nyobain takoyaki yang ada dijual deket-deket lokasi ini. Jadi sangking begonya, saya makan takoyaki panas-panas. Pas masuk mulut makanan ini lumer dan rasanya lidah saya kebakar. Sampe keluar air mata nahan panasnya. Ini antara kisah menyedihkan dan bego yang dibungkus dalam 1 kemasan.


 Senso-ji Temple 

Puas di Senjo-ji saya jalan ke arah depan (maaf saya nggak tau arah mana selatan mana utara, jadi pake 'arah depan') lokasi tempat Kaminarimon berada. Ada 2 gerbang besar serupa Kaminarimon ini yang diantaranya dari satu gerbang ke gerbang lain terdapat pusat perbelanjaan oleh-oleh di Jepang; Nakamise Shopping Street. Aih ini tempatnya keren banget. Kios-kiosnya tertara rapi, dengan desain tradisional. Surga belanja banget ini, mulai dari gantungan kunci, mainan-mainan tradisional, kaos, makanan dan banyak pokoknya. Saya cuma ngiler aja sih disana.


 
Nakamise Shopping Street

Oleh-oleh gantungan kunci

Di sekitaran Asakusa ini banyak banget mas-mas orang Jepang yang bekerja jadi Jinrikisha, tourist guide yang bawa kita keliling-keliling Asakusa sambil naik gerobak gitu. Mereka sendiri lho yang narik gerobaknya. Eh, beneran gerobak nggak sih namanya? Ya semacam becak lah. Ini liat sendiri aja gambarnya dan dikasi nama sendiri. haha. Tapi yang mesti diperhatikan adalah, biaya untuk menyewa jasa mas-mas ini, ya lumayan sekitar 9000 yen. Mahal sih, tapi kan enak nggak perlu capek-capek jalan kaki :D

Cewek-cewek pasti suka nih :))

Puas sudah jalan-jalan saya di Asakusa. Memasuki waktu siang, waktu yang rawan saat perut mulai keroncongan, saya memutuskan untuk makan di sekitaran Asakusa. Mulai nyari-nyari di internet lokasi tempat makan halal yang ada di Asakusa. Dan bener aja, saya nemu warung ramen halal disini. Nama warungnya Naritaya Ramen. Mereka jual segala macam makanan dan minuman halal. Berhubung cuma Mba Eka yang bahasa Jepangnya waz-wiz-wuz kaya Shinkansen, jadi Mba Eka ngajakin kokinya ngobrol. Posisi kita itu deket banget sama yang jualan, ya mirip-mirip kalau makan di warung nasi goreng di Indonesia lah. Kokinya cerita dia asli dari Tsukuba, haha sama dong kita juga dari Tsukuba! Dia cerita pernah 2 tahun tinggal di Malaysia untuk belajar makanan halal. Jadi, kalo mampir ke warung ramen ini pantes aja nemu beberapa produk makanan halal dari Malaysia. Salut ya sama niat pemilik warung ramen ini, semoga Allah memberikan hidayah untuk beliau. Setelah makan, saya numpang shalat di Naritaya Ramen. Mereka menyediakan tempat shalat untuk para wisatawan muslim yang mampir kesini. Meski nggak begitu luas, tapi sangat membantu banget untuk temen-temen muslim yang ingin menjalankan ibadah shalat fardhu saat sedang berkunjung di Asakusa.

Halal ramen di Naritaya

Dari Naritaya, saya lanjutin jalan-jalannya ke arah Sky Tree. Yuhuu~~ emang kita udah niatin pas kesini mau ke Sky Tree. Sebenernya dari Asakusa, Sky Tree yang menjulang tinggi itu udah kelihatan. Tapi belom afdol rasanya kalo nggak bener-bener mampir dan naik ke atas. Perjalanan dari Asakusa ke Sky Tree bisa  ditempuh cukup dengan berjalan kali selama 15-20 menit. Saya menyusuri jembatan yang melintas di atas sungai Sumiga. Pemandangannya juga bagus. Saya bisa lihat salah satu gedung terkenal di Jepang, Asahi Beer Headquarter.

Sumida River

Hal menarik lainnya di sekitaran Sumida river adalah terdapat Tokyo Waterbus yang bisa kita naiki untuk mengantarkan kita dari Asakusa ke Odaiba. Aih seru ya. Kapan lagi kan bisa nikmati jalan-jalan naik kapal di sana. Saya itu dari dulu banget pengen ke Odaiba, tapi belom kesampaian. Ditambah lagi ada waterbus ini, makin pengen. Cuma sayangnya antriannya paaannnnnjaaaaanggg banget. Bikin nggak selera buat naiknya. Yah, mungkin lain kali ya nyobainnya.

Jalan kaki saya ke Tokyo Sky Tree terbayar sudah. Saya sampai di Sky Tree dengan perasaan antusias, sampai ketika saya lihat panjangnya antrian untuk naik ke Sky Tree. Bener-bener bikin speechless. Karena heran kok antriannya sampai sepanjang itu, kita nyoba nanya-nanya ke petugas yang ada disana kira-kira jam berapaan bisa naik kalau ngantri sekarang. Dan... pucuk dicinta ulam tiba. Haha... Kita malah dikasi tau kalau ada jalur khusus untuk wisatawan luar negeri bisa ngantri disana dan dikasi prioritas untuk naik. Caranya tinggal nunjukin passport atau resident card Jepang. Saya yang kebetulan akan tinggal lama di Jepang sudah punya resident card, jadi cukup nunjukin itu aja yang nandain kalau kita orang asing. Yah, cukup nganti 10 menit saya udah dapat tiket untuk naik ke Sky Tree. Nggak perlu capek-capek ngantri panjang. 1 tiket khusus ini seharga 3000yen untuk sekali naik ke Sky Tree level Tembo Deck (350 m). Jadi, di atas Tembo Deck masih ada 1 level lagi yang lebih tinggi, Tembo Galleria di level 450 m. Cuma mesti bayar lagi biar bisa akses ke level ini. Saya cukuplah sampe ke Tembo Deck saja.

Tembo Deck Ticket dan Informasi di Tembo Deck

 Antusiame pengunjung untuk melihat Tokyo dari Sky Tree

Tokyo from bird's eyes

The Tokyo Sky Tree

Hal-hal seru di Sky Tree tentu banyak banget. Mulai dari liatin Tokyo ke segala arah. Sebenenya bisa lihat Fuji-san juga kalau kita beruntung. Tapi saya lagi nggak beruntung sepertinya karena waktu itu awannya banyak dan nutupin pandangan ke arah gunung Fuji. Selanjutnya, di Tembo Deck ini disediakan glass floor yang bisa lihat 180 derajat ke bawah. Seru banget serius. Rame banget yang berdiri di lantai kaca itu. Rasa-rasa nggak ada penghalang. Jadi wajar aja kalau pas kesana nanti kamu liatin ibu-ibu dan anak-anak pada histeris saat berdiri di atas lantai kacanya.


Lantai kaca di Tokyo Sky Tree

Saya sekitaran 1 jam aja di Sky Tree, abis itu langsung balik ke Asakusa Station untuk selanjutnya menuju ke Tokyo Station. Stasiun Tokyo bisa dibilang sebagai salah satu stasiun tersibuk di Jepang. Desain bangunannya cukup berbeda dari kebanyakan gedung-gedung di Tokyo; yang saya tahu kalau nggak modern banget ya tradisional bergaya Jepang banget. Bagunan utama Stasiun Tokyo menyerupai bentuk bangunan-bangunan di Eropa. Dengan desain bergaya Eropa, bikin imajinasi saya kemana-mana. Rasanya bukan seperti berada di Jepang saja.

Tokyo Station

Mumpung ada di sekitaran Chiyoda-ku, saya sambil jalan-jalan di pusat Tokyo dan mengambil langkah ke arah Tokyo Imperial Palace. Lokasinya nggak begitu jauh dari Stasiun Tokyo, mungkin sekitar 15 menit berjalan kaki. Perjalanan antara stasiun dan Tokyo Imperial Palace banyak taman-taman kecil yang dipenuhi oleh keluarga, anak muda, kakek nenek yang sedang menikmati waktu di sore hari. Ahh, nyaman sekali. Ada hal yang belum saya sebutkan sejak awal yang bikin kota ini kelihatan nyaman, Tokyo meski salah satu kota metropolitan dunia, tidak ada macet, pejalan kaki bisa lalu lalang tanpa takut ketabrak kendaraan karena mereka semua tertib, dan taman-tamannya bersih. Salah satu hal positif yang bisa diambil saat mengunjungi Tokyo.

Imperial Palace punya taman yang sangat luas. Kita bisa mengunjungi taman-taman tersebut sampai sore dan tanpa biaya sama sekali. Benar-benar memanjakan mata melihat hijau disekeliling taman, duduk di bawah pohon-pohon rindang, atau sekedar tidur sore di atas rumput mungkin sudah bikin bahagia. Beberapa bangunan di kawasan Tokyo Imperial Palace juga sangat menarik. Terdapat museum, guard tower, jembatan dan beberapa bangunan menarik lainnya yang nggak sempat saya identifikasi sebagai apa. Saya datang ke Imperial Palace sudah agak sore, jadi sebelum jam 5 polisi-polisi yang berjaga di taman menginstruksikan pengunjung untuk berkemas karena lokasi ini sudah memasuki waktu akhir kunjungan. Ya benar, kita cuma bisa berada di Imperial Palace sampai jam 5 saja.

(Kiri) Guard Tower; (Kanan) Suasana di Tokyo Imperial Palace

Dan saya pun kembali ke Stasiun Tokyo. Suasana sore hari di Tokyo sangat menyenangkan, langit yang mendadak sedikit bewarna oranye bikin saya semangat untuk melanjutkan jalan-jalan hari itu.

Tempat selanjutnya yang saya kunjungi adalah Akihabara. APA? AKIHABARA? Di kepala saya cuma AKB48 :)))

Saya naik kereta dari Tokyo Station menuju Akihabara. Saat memutuskan naik kereta di Jepang, tidak perlu ragu atau takut tersasar karena bisa dibilang petunjuk arahnya sangat bagus. Hanya saja jarak untuk berpindah dari 1 kereta ke kereta lainnya itu sangat jauh. Misalnya saya tadinya turun dari JR Yamanote line dan berniat untuk pindah ke Tokyo Metro Line bisa menghabiskan waktu 5-7 menit naik turun tangga. Jadi kalau pengen jalan-jalan naik kereta, pastikan kakinya kuat jalan kaki dan pakai alas kaki yang nyaman biar nggak cepet pegel.

Akihabara bisa dibilang sebagai distrik yang menjadi pusat elektronik, shopping center, video games, otaku cultural center, anime, manga, dan computer di Jepang. Dan satu lagi, nama Akihabara dipakai sebagai nama untuk group idol terkenal di Jepang AKB48 (AKB dari Akihabara). Saya nggak sempet ngunjungi semua tempat-tempat iconic di Akhihabara. Saya lewat sih di Maid Cafe, salah satu cafe terkenal di Akiba. Cafe ini semacam cosplay restaurant yang pelayannya berpakaian serupa maid dan melayani pelanggan di cafe tersebut seperti tuan rumah. Menarik juga idenya ya. Tapi saya nggak kesitu. Saya pilih makan malam di depan Maid Cafe, ada yang jual halal kebab. Lebih aman buat saya. Habis makan malam, Saya cuma, ahem, ke AKB Cafe buat foto aja. Haha. Duh AKB, ntar deh kapan-kapan saya nonton ke theaternya. wkwk. Yaudah saya sambil jalan-jalan aja keliling entah kemana. Berhubung udah capek juga saya kembali ke Akhibara Sta. ikutan nongkrong bareng anak muda Jepang disana. Menjelang pukul 8 malam, saya, Mba Eka, dan Mas Fajar mengambil kereta Tsukuba Express dan kembali pulang menuju Tsukuba.


Akihabara!

Terima kasih sudah membaca catatan perjalanan saya di Tokyo. Lain kali akan saya publish tulisan-tulisan pengalaman saya selanjutnya selama berada di Jepang. Enjoy! :)